Army of the Dead (2021)

Menarik memang melihat zombie menjadi lebih kuat dan cerdas, tak hanya berjalan oleng. Namun untuk sebuah film survival game, Army of the Dead terasa terlalu panjang dan mengambang.
Army of the Dead tentu merupakan kabar baik bagi penggemar sutradara Zack Snyder, sebuah cerita orisinal tanpa membawa bendera DC Comics.

Setelah sukses menyajikan wabah zombie dalam film Dawn of the Dead, Zack kembali menawarkan hal serupa namun tak sama melalui film Army of the Dead.

Film ini mengisahkan wabah zombie yang melanda Las Vegas. Sebagian besar penduduk setempat menjelma jadi zombie dan meluluhlantakkan Las Vegas.

“Think about it. Everything we did. All those people we saved. Look what it got us. But what if, just once, we did something for us?” – Scott Ward.
Segelintir manusia yang tersisa menjalani hidup dengan bertarung melawan zombie. Sebagian lainnya menjadi petarung, dan sisanya mengungsi di kawasan aman yang terhalang tembok besar.

Scott Ward (Dave Bautista), bekas tentara pembasmi zombie memutuskan untuk bertahan hidup dengan berjualan burger. Namun, ketenangan hidupnya terganggu godaan untuk menjalani sebuah misi.

Seorang pemilik kasino Bly Tanaka (Hiroyuki Sanada) merekrut Scott Ward dan sejumlah orang untuk menerobos wilayah zombie untuk menyelamatkan sejumlah uang di dalam kasino.
Seperti yang mungkin kita bayangkan, kisah akan berlanjut ke sebuah 'survival game' yang melibatkan Scott Ward dan rekan-rekannya, bertualang membasmi zombie.

Hal lumrah kemudian terjadi, satu per satu gugur, ada yang akibat serangan zombie, dan tentu ada juga yang merupakan korban pengkhianatan anggota tim lainnya.

Untuk cerita dengan pola yang umum dan alur maju, film Army of the Dead yang berdurasi sekitar 2,5 jam berpotensi menjadi film yang dragging, alias bertele-tele.

Pasalnya, tidak banyak klimaks di tengah cerita, klimaks hanya disimpan di akhir, itu pun dibuat menggantung dan tidak jelas perasaan apa yang ingin ditujukan pada penonton.

Drama Serba Tanggung

Penulis naskah jelas ingin menyelipkan unsur drama di antara cerita laga, brutal, nan menegangkan. Namun, beberapa terasa seperti 'yang penting ada' dan serba tanggung.

Mari kita mulai dari drama-drama yang coba dibentuk dari hubungan personal tokoh utama Scott Ward. Pertama pasti penonton tertuju pada hubungan ayah-anak antara Scott dengan Kate Ward.

Penulis jelas ingin membangun drama antara keduanya, di mana konsentrasi Scott selama perjalanan terbagi antara visi utama, dengan dorongan untuk melindungi sang anak yang paling lemah di skuat tersebut.

Entah siapa zombie di sini, tapi Ella Purnell yang memerankan Kate Ward seperti tokoh yang hatinya beku, dirinya tak nampak seperti anak yang berperasaan.

Jadi, meski hubungan ayah-anak dalam film berakhir tragis, kesedihan yang dirasakan saat tiba pada adegan tersebut menjadi amat tanggung. Sungguh, seperti sandiwara tak bernyawa.
Hal yang sama juga terlihat dari 'love-hate relationship' antara Vanderohe (Omari Hardwick) dan Dieter (Matthias Schweighöfer). Jelas ada hubungan istimewa antar keduanya sejak awal.

Meski ajal akhirnya memisahkan mereka, namun sungguh hubungan emosi keduanya belum tuntas tercipta. Lucu tidak terlalu, tapi bromance pun tidak dalam.

Banyak tokoh yang gugur, tapi sedikit kesedihan yang bisa dibagi ke penonton. Jahatnya pengkhianatan anggota tim pun tak terasa terlalu jahat. Jadi, memang drama-drama dalam film ini serba tanggung.

Sensasi Lain Melawan Zombie

Baru di film ini, zombie terasa punya daya dan kuasa. Baru di Army of the Dead, terlihat bahwa zombie bisa ditampilkan sebagai entitas yang tertib, dan punya akal.

Zombie itu adalah karakter yang berkembang pesat dari waktu ke waktu. Dulu zaman ‘Resident Evil’ pertama kali muncul zombie-nya masih cuman jalan, kemudian di ‘Walking Dead’ udah bisa jalan cepet bahkan lari. Lalu ada juga zombie yang pintar.

Nah zombie ciptaan Snyder di ‘Army of the Dead’ ini gimana? Zombie nya punya self-aware. Luxury ini coba dimanfaatkan untuk menambah kompleks cerita, hnya saja tidak semudah itu penonton bisa mengerti karena ya, mereka zombie.

Pasukan zombie di film ini benar-benar seperti sekumpulan makhluk yang punya naluri bertahan, bukan hanya 'robot' yang menyerang manusia dengan membabi buta.
Hal tersebut menciptakan sensasi yang berbeda dengan film zombie lainnya, termasuk film zombie terdahulu sang sutradara Zack Snyder, Dawn of the Dead (2004).

Terasa betul visi Zack Snyder dalam membangun pemahaman lain, 'the next level' dari zombie. Situasi yang ditampilkan dalam cerita menggambarkan bahwa amat mungkin zombie lebih cerdas dari manusia, bahkan lebih manusia daripada 'monster' dan keangkuhan di dalam diri manusia.

Bukan perkara mudah untuk mengerti apa yang zombie-zombie ini pikirkan dan inginkan. Hal ini membuat unsur seperti jaminan memperkaya film, namun belum cukup berkesan karena masih cukup membingungkan.

Emosi yang dimiliki oleh zombie ini baru terasa di turning point kedua dan ya, turning point kedua film ini memanfaatkan amarah dari karakter zombie-nya. Mulai dari sini kita akan segera tahu bahwa ancaman besar segera menghampiri Scott dkk.

Kecerobohan para tokoh utama membuat mereka tumbang satu per satu, dikalahkan oleh digdaya dan kecerdasan zombie. Konsep zombie alfa yang diusung Zack Snyder cukup terasa, meski tak cukup menolong banyak 'plot hole' sepanjang cerita.

The Cranberries? Sungguh?

Mari simpan sejenak pembahasan 'plot hole' untuk di akhir ulasan. Sebelum itu, mari bahas satu variabel penting dalam sebuah film: audio. Bicara soal lagu latar atau soundtrack dan scoring, sungguh saya dibuat nyaman di awal tapi seperti diejek di ujung film.

Optimisme sempat timbul kala lagu Viva Las Vegas versi Richard Cheese dan Allison Crowe yang ceria dipilih sebagai latar adegan awal yang penuh darah, kacau, nan sadis.

Suasana kontras yang diciptakan Zack Snyder di scene pembuka sungguh menggugah perasaan. Memadukan keriangan suasana Las Vegas dengan ancaman yang nyata sungguh sebuah ide yang dapat diterima.

Hal tersebut sempat terbantu oleh scoring ballad di tengah-tengah film, menjadi oase yang manis usai penonton dibawa berburu napas, lari dari ancaman zombie.
Tentu, dua kali percobaan tersebut seakan membisikkan harapan, bahwa scoring dan soundtrack pamungkas di ujung cerita akan menjadi pengalaman yang luar biasa. Tapi, tidak ternyata, bagi saya setidaknya.

Lagu Zombie milik The Cranberries berkumandang di momen-momen penonton menghela napas panjang dan (harusnya) menikmati adegan 'after taste' dari klimaks konflik yang brutal.

Seperti diejek, lagu Top 40 berkumandang di menit-menit paling berharga dalam film. Bukan formula lama memang, tapi kali ini tentu tidak berhasil.

Mungkin sebagian kita ingat bagaimana lagu Yesterday dari The Beatles tiba-tiba muncul di film Bean (1997), atau Can't Help Falling in Love with You di film the Conjuring 2 (2016), begitu juga dengan lagu-lagu The Smith yang menghias film 500 Days of Summer (2009).

Film-film tersebut jadi contoh bagaimana penggunaan lagu Top 40 bisa mempercantik adegan, tanpa khawatir kehilangan nilai plus akibat tidak menjunjung orisinalitas.

Tapi, itu tidak berhasil kala lagu Zombie (The Cranberries) dideskripsikan dengan amat 'obvious' di film dengan genre zombie. Itu bukan ide yang cukup baik.
Menyisakan Tanya yang Nampak Takkan Terjawab

Tak ada yang patut diprotes bila bicara tentang sinematografi, tone, ambience, dan solid-nya gambar yang diciptakan Zack Snyder. Ini merupakan karya sinematografi yang luar biasa, seperti biasanya.

Tapi, cerita tetap merupakan nyawa sebuah film feature. Army of the Dead menyisakan banyak tanya, murni tanya, bukan dipancing untuk mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Terlalu banyak 'plot hole', sekali lagi, ini merupakan sebuah cerita yang serba tanggung.

Ujung film jelas menggambarkan bahwa cerita akan berlanjut, entah dalam format serial, atau film. Tapi, apa yang saya dapatkan sepanjang film, membuat Army of the Dead tidak 'se-appetizing' itu untuk diteruskan.

Tonton Filmnya Di Sini
Follow instagram Di Sini


Trailer



Postingan populer dari blog ini

The Conjuring (2013)

Fast And Furious 9 (2021)