The Conjuring (2013)

The Conjuring

United States | Mystery-Suspense, Horror | R | Directed by: James Wan | Written by: Chad Hayes, Carey Hayes | Cast: Vera Farmiga, Patrick Wilson, Ron Livingston, Lili Taylor | English | Run time: 112 minutes

Plot:
Diangkat dari kisah nyata. Dua demonologist harus mencari cara untuk mengusir iblis yang mengganggu dan mengancam keselamatan suatu keluarga

The Conjuring mencoba untuk mengeksplorasi formula horor tradisional dalam memaparkan dua tema penceritaan horor yang familiar – rumah berhantu dan aksi pengusiran setan – dan menggabungkannya menjadi sebuah kesatuan cerita yang mampu menghadirkan rasa ketakutan mendalam pada setiap penontonnya.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Chad dan Carey Hayes (The Reaping, 2007) berdasarkan kisah nyata mengenai sebuah kasus yang dialami oleh pasangan paranormal, Ed dan Lorraine Warren, The Conjuring memulai kisahnya dengan kepindahan pasangan suami istri, Roger (Ron Livingston) dan Carolyn Perron (Lili Taylor), bersama dengan kelima puteri mereka, Andrea (Shanley Caswell), Nancy (Hayley McFarland), Christine (Joey King), Cindy (Mackenzie Foy) dan April (Kyla Deaver), ke sebuah rumah tua yang terletak di wilayah Harrisville, Rhode Island, Amerika Serikat.

Roger dan Carolyn telah bersiap untuk memulai kehidupan baru bersama kelima puterinya di rumah tersebut. Namun, layaknya seperti yang selalu terjadi dalam film-film horor klasik, keluarga tersebut secara perlahan mulai merasakan adanya gangguan yang tidak dapat dijelaskan hadir dalam keseharian mereka.

Setelah beberapa saat mencoba bertahan dan menghadapi gangguan-gangguan tersebut, Carolyn akhirnya memutuskan untuk menghubungi pasangan paranormal, Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga). Ed sendiri sebenarnya tidak begitu berniat untuk menjawab permintaan Carolyn untuk menolong keluarganya akibat sebuah permasalahan yang terjadi pada Lorraine dalam kasus terakhir yang mereka hadapi.

Lorraine sendiri yang kemudian bersikeras dan mendorong Ed agar mau mengambil kasus tersebut. Dan benar saja, setibanya Ed dan Lorraine di rumah yang dihuni oleh keluarga Perron, keduanya langsung merasakan adanya kekuatan supernatural jahat yang berniat tidak hanya untuk mengganggu keluarga tersebut… namun juga mengancam keselamatan bahkan nyawa mereka.


Tidak seperti kebanyakan film horor modern – yang menghadirkan (terlalu) banyak momen-momen kejutan dalam presentasi ceritanya untuk memberikan rasa takut pada penonton, James Wan justru menyajikan The Conjuring dalam teknik penceritaan film-film horor klasik.

Wan sama sekali tidak terburu-buru dalam menyajikan jalan ceritanya namun, di saat yang bersamaan, Wan juga memastikan bahwa alur moderat yang ia gunakan mampu membuka secara perlahan setiap tabir misteri yang ingin ia hadirkan kepada penonton sekaligus membuat setiap karakter memiliki penggalian serta plot penceritaan yang kuat.

Kemampuan Wan dalam menangani struktur penceritaan The Conjuring secara cerdas itulah yang kemudian berhasil membuat atmosfer horor yang terkandung di dalam film ini berkembang dengan sempurna dan akhirnya melibatkan penonton secara efektif untuk turut larut dalam berbagai kengerian yang disajikan.

Kehadiran karakter-karakter dalam jalan cerita The Conjuring juga menjadi salah satu elemen terkuat penceritaan film ini ketika Wan berhasil memilihkan para aktor dan aktris yang demikian meyakinkan dan mampu menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Nama-nama seperti Patrick Wilson, Ron Livingston hingga pemeran muda seperti Joey King, Mackenzie Foy serta nama-nama peran pendukung yang belum familiar seperti Shannon Kook dan John Brotherton berhasil menjadikan kualitas departemen akting film ini tampil begitu kokoh.

Namun yang jelas adalah dua pemeran wanita, Vera Farmiga serta Lili Taylor, yang menjadi bintang utama film ini. Hal ini jelas tidak terlepas dari kemampuan duo penulis naskah Chad dan Carey Hayes yang menitikberatkan pengisahan drama The Conjuring pada dua karakter wanita yang masing-masing juga berperan sebagai seorang ibu. Dan ketika baik Farmiga dan Taylor mampu mengeksekusi peran tersebut dengan begitu sempurna, penampilan serta karakter keduanya mampu menjadi nyawa utama dari jalan cerita The Conjuring secara keseluruhan.

Wan tidak hanya menyajikan The Conjuring sebagai sebuah film horor klasik dari segi penceritaannya. Dengan latar belakang penceritaan yang berada di tahun ’70-an, Wan mampu menghadirkan ceritanya dengan dukungan tata produksi yang juga tampil sangat meyakinkan, mulai dari tata rias, tata kostum hingga desain produksi dari lokasi yang digunakan di sepanjang penceritaan film.

Dukungan tata musik arahan Joseph Bisara juga semakin menambah kental elemen horor klasik dari The Conjuring – dan menjadi salah satu elemen terbaik dari film ini. Ditambah dengan iringan tata teknis kamera yang terus bergerak dinamis dalam menelusuri setiap sudut lokasi penceritaan serta mengikuti pergerakan setiap karakter, penceritaan The Conjuring mampu tampil begitu efektif dalam menakuti setiap penontonnya.


Layaknya film-film horor klasik, James Wan mengeksekusi jalan cerita yang telah ditulis Chad dan Carey Hayes secara perlahan, membiarkan setiap plot penceritaan untuk berkembang dengan baik sekaligus memberikan ruang yang cukup untuk setiap karakter dalam memaparkan kisah mereka. Hasilnya, meskipun harus diakui bahwa The Conjuring tidak akan mampu tampil sekuat Insidious dalam menakuti para penontonnya, namun Wan jelas telah menghadirkan The Conjuring dengan eksekusi penceritaan yang jauh lebih baik dari Insidious maupun film-film yang telah ia garap sebelumnya.

Jelas sangat menyenangkan untuk menyaksikan sebuah film horor yang murni bergantung pada atmosfer kengeriannya dan sama sekali tidak bertumpu pada hal-hal klise yang seringkali dieksploitasi dalam film-film sejenis. Berdiri sejajar bersama Insidious dan Sinister sebagai salah satu film horor terbaik dalam beberapa tahun terakhir.

Cerita haunted house memang terbilang usang di kalangan film-film horror. Namun cerita yang ditulis oleh Chad dan Carey Hayes digarap secara baik sehingga membuat The Conjuring masih menarik untuk dinikmati ceritanya. Hal menarik di film ini adalah adanya unsur religi yang diangkat. Gue jadi teringat pada film The Exorcist (William Friedkin, 1973) apalagi ketika melihat bagian pengusiran hantu di bagian akhir film ini.

Meski tidak seseram The Exorcist, bagian pengusiran hantu di film ini masih terbilang intense. Unsur religi yang gue maksud tadi adalah, secara tersirat dan tersurat, film ini mencoba mengingatkan kita bahwa adanya higher power di atas manusia. Sebagai contoh adalah ucapan Ed di akhir film yang kurang lebih seperti ini: The devil exists. God exists. And for us, as people, our very destiny hinges on which we decide to follow.

Dari segi cerita film ini diceritakan secara jelas. Segi mengapa bisa ada ini dan mengapa bisa begitu sesungguhnya telah dijelaskan secara sistematis sehingga kita sebagai penonton tidak perlu repot-repot lagi berpikir, tugas kita hanyalah menikmati (menikmati adalah pilihan kata yang menarik) teror yang ada di film ini. Kemudian sebagai penutup, The Conjuring sangat beruntung memiliki Vera Farmiga. Performanya sangat menawan sehingga merupakan poin tambah film ini.

Seram atau tidak seram itu relatif, setiap orang tidak semuanya bisa ditakuti oleh cara yang sama, dari komentar-komentar yang gue terima di review “Insidious”, tidak semua bilang film horor rilisan 2010 tersebut seram. Tapi James Wan jelas sudah memberikan sebuah mimpi buruk baru lewat “Insidious”, walaupun gue mengakui elemen-elemen horor yang ditawarkan film ini tidak bisa dibilang orisinil, namun bukan berarti James Wan tidak tahu bagaimana membuatnya jadi sesuatu yang bisa menakuti penonton lagi—dari suara decitan pintu kayu yang terbuka sendiri sampai suara gaduh misterius di lantai atas. 

Sekali lagi, jika gue ditanya apakah “Insidious” itu seram? gue kemudian akan ngangguk-ngangguk sambil bilang “iya”, dan ketika beberapa tahun belakangan ini horor Asia pun tak lagi ada yang bisa membuat gue menjerit, wajar jika “Insidious” kemudian jadi semacam patokan baru. Apa-apa sekarang dibandingkan sama “Insidious”, well jadinya memang overated, tapi peduli setan, toh film ini memang sudah memberi gue pengalaman horor yang selama ini gue cari, diantara film-film horor yang cara nakutinnya murahan dengan seabrek penampakan yang cemen. Memorable, horor tidak saja soal penampakan seram saja, tapi bagaimana adegan seram itu bisa menempel terus di kepala penontonnya, “Insidious” bisa melakukan itu.

Memang tidak adil untuk membandingkan “Insidious” dengan “The Conjuring”, karena ujung-ujungnya pertanyaan itu akan muncul “lebih seram mana?” jujur, gue paling malas dengan pertanyaan itu—walau pertanyaan seperti itu kadang muncul tanpa sengaja dari mulut gue. Sekali lagi seram itu relatif, film yang gue bilang seram belum tentu seram untuk orang lain, tapi gue bisa bilang ini, kalau keduanya sama-sama mampu mengeja kata “seram” dengan benar. Seram atau tidak seram, film semacam “The Conjuring” ini yah harus ditonton dan dirasakan sendiri, gue bisa bilang seram, karena untuk film horor gue biasanya menaruh posisi gue jadi orang yang paling pengecut dan penakut.

Jadi ketika disodorkan “The Conjuring”, gue senang bisa ketakutan seperti anak kecil yang mendengar suara berisik di kolong tempat tidur, kemudian menjerit kala melihat bayangan orang dari balik pintu yang ternyata bukan apa-apa. Gue memposisikan diri jadi seorang anak kecil yang takut tidur sendirian dengan membiarkan pintu kamar terbuka dan lampu menyala.

Well, apa yang ditawarkan “The Conjuring” memang sekali lagi basi, tapi ditangan James Wan apa yang selama ini terlihat sudah basi, justru mampu didaur-ulang jadi sesuatu yang menakutkan, bikin takut lagi walau sebetulnya pernah dilakukan film horor sebelumnya, bahkan di “Insidious”.

Saat kemudian ada bagian dalam film yang terlihat seperti menjiplak “The Exorcist”, mungkin karena James Wan sengaja menyelipkan adegan tersebut, untuk sekali lagi menyeret gue dalam nostalgia, mengingatkan gue kenapa gue cinta horor. Film seperti “The Conjuring” yang memang membuat gue cinta film horor.

Referensi-referensi film horor klasik yang tergantung di “The Conjuring” menjadi keseruan tersendiri, bukan dicemooh karena mirip film ini dan itu, tapi sebuah catatan jika kita sedang menonton film horor yang dibuat oleh orang yang sama-sama mencintai film horor. Se-menyenangkan ketika menonton “Insidious”, “The Conjuring” juga menawarkan hal yang sama, dengan esekusi yang tentunya lebih bangsat.

Tahapan menakutinya tetap menghadirkan bunyi-bunyian decitan pintu dan suara-suara aneh dari dalam rumah yang awalnya tidak dipedulikan, sampai levelnya meningkat ke penampakan demi penampakan yang menyeramkan, dan disertai interaksi “yang mengganggu” ke penghuni yang diganggunya. Terlebih saat duo suami-istri Ed dan Lorraine Warren (diperankan oleh Vera Farmiga dan Patrick Wilson) mulai menerawang rumah keluarga Perron untuk membuktikan jika rumah tersebut benar-benar berhantu.

Dari sekedar suara tepukan tangan yang ngehe itu sampai kejutan-kejutan maha ngehe yang disuguhkan James Wan dengan berkelas, tidak asal mengagetkan tapi tahu kapan momen yang tepat dan waktu yang pas untuk membuat penontonnya menjerit. Ditulis oleh Chad dan Carey Hayes, James Wan begitu rapih dalam menyusun skema bangsatnya untuk menakuti penonton, sambil tetap setia menyuguhkan cerita yang cukup solid.

Sebetulnya dengan embel-embel film yang didasarkan kisah nyata, itu sudah dari cukup untuk bahan masturbasi gue membayangkan akan seseram apa si James Wan nantinya mengesekusi “The Conjuring”, toh bikin film yang ceritanya bukan kisah nyata alias mengarang bebas saja menyeramkan, melirik ke “Insidious”.

Ya embel-embel tersebut memang pada akhirnya berpengaruh, atmosfir film yang dari awal sudah berhawa tidak enak semakin mengganggu ketika gue sadar apa yang tersaji di film pernah terjadi, walaupun tentu saja film tetap butuh genjotan dramatisasi untuk tujuannya menghibur. 

Penampakan-penampakan nakutin dan ngagetin bukan satu-satunya sorotan yang membuat “The Conjuring” berhasil, sekali lagi film horor yang berhasil adalah film horor yang bisa menakut-nakuti kita justru sebelum ada penampakan, asyik sendiri membayangi dalam kepala, dan “The Conjuring” bisa melakukan itu, mampu menggoda pikiran untuk mikir yang macam-macam dan seram-seram.

Didukung oleh camera-work yang sama-sama bisa dibilang “horor”, dalam menangkap semua teror dan kengerian rumah keluarga Perron (thanks to sinematografernya John R. Leonetti), “The Conjuring” memang pada akhirnya bukan saja film horor yang bagus karena filmnya seram, tetapi karena secara keseluruhan film ini dibuat untuk menyenangkan penonton yang datang hanya untuk ditakut-takuti, termasuk gue. “The Conjuring” seperti juga keluarga Perron yang ramah, memang dari awal sudah menjadi tuan rumah yang baik sejak gue menginjakkan kaki pertama kalinya di rumah yang katanya berhantu tersebut.

Sungguh pengalaman yang menyeramkan bertamu ke rumah ini, yah semenjak opening title dengan musik yang serasa menyeret kita ke alam lain itu, gue sudah tahu “The Conjuring” bakal ngehe, horor menyenangkan dan juga sekaligus disturbing layaknya “Sinister”. 


Konklusinya
Malevolent. The Conjuring adalah film horror yang selain seram juga digarap secara rapi. Meski mengangkat kisah haunted house yang telah usang, film ini tidak kehilangan keseramannya. Unsur religi yang diangkat di film ini menjadi sesuatu yang menarik. Hal ini mampu membuat film ini menjadi sederhana yang pada akhirnya membuat kengerian film ini terasa nyata.


Postingan populer dari blog ini

Fast And Furious 9 (2021)